Selasa, 15 November 2011

"di mana saja agar supaya selalu rukun dengan Sesama"

Di antara sekian banyak pesan I Bape tyang,  -------ketika setiap kesempatan saya ada disampingnya, yang saya ingat adalah bahwa "di mana saja  agar supaya selalu rukun dengan sesama". Pesan itu terasa sederhana. Tanpa diingatkannya pun sebenarnya siapapun sudah tahu,  bahwa kerukunan adalah  penting bagi siapa saja. Namun demikian,  Bape tyang selalu mengingatkannya. Seakan-akan, saya belum atau  tidak mengerti tentang arti kerukunan itu.
Arti rukun  yang dimaksudkan itu  juga sederhana saja.  Bahwa  beberapa orang dianggap rukun manakala mereka tidak selalu bertengkar sekalipun berbeda pendapat atau bahkan pendapatan. Mereka tidak saling  bermusuhan, saling merendahkan, menyakiti hatinya dan lain-lain. Sebaliknya sekelompok orang dianggap rukun manakala di antara mereka saling menyayangi, tolong menolong,  menghargai, mau berbicara bersama, bahkan juga selalu tertawa bersama-sama.
Orang yang suka berebut, mengalahkan lainnya,  dan apalagi tega jika temannya menderita dan apalagi celaka, maka  mereka disebut gagal menjaga kerukunan.  Umumnya orang  merasa sedih manakala mendengar orang tidak bisa menjaga kerukunan. Oleh karena itu  tatkala berhasil  menjaga kerukunan dianggap prestasi. Pada kenyataan nya  tidak semua orang berhasil melakukan hal itu.
Pesan  orang tua yang semula saya anggap sederhana itu ternyata memang tidak mudah dilaksanakan dan akhirnya menjadi bukan persoalan sederhana lagi. Rukun ternyata tidak mudah dijalankan oleh siapapun.  Seorang yang berpendidikan tinggi dan bahkan juga berjabatan tinggi sekalipun belum tentu berhasil  rukun dengan temannya.
Betapa sulitnya rukun itu diwujudkan, sehingga tidak sedikit   orang yang  sudah   bergelar Doktor (lulus S3) pun ,  ternyata  belum  tentu bisa rukun dengan teman-temannya. Selalu saja saya mendengar,  di antara mereka  saling terlibat konflik dan bahkan tidak saling menyapa.  Padahal menurut informasi yang saya dapatkan, sebab-sebab terjadinya konflik itu juga dari hal yang sangat sepele.
Orang yang tidak mampu  membangun kerukunan  tidak sedikit jumlahnya. Di mana-mana selalu terjadi. Oleh sebab itu, untuk  membuktikan tentang betapa sulitnya memerlihara kerukunan sangat mudah dilakukan.  Bahkan hingga di kampus-kampus perguruan tinggi, ternyata antar pimpinan, pimpinan  dengan dosen, antar sesama dosen, sesama mahasiswa, konflik menjadi hal biasa. Orang-orang di  perguruan  tinggi sekalipun,   terrnyata tidak menjamin  selalu bisa meredam konflik. Dari melihat kenyataan itu,saya menjadi berkesimpulan, bahwa ternyata merawat kerukunan  bukan perkara mudah. Pesan ibu saya tersebut, ternyata hingga kapan, kepada siapapun, dan di manapun masih selalu relevan.
Lebih berat lagi adalah  menjaga kerukunan   di dunia politik. Pertikaian antar intern dan antar partai politik selalu terjadi. Bahkan beberapa tahun terakhir, terkait dengan persoalan bank century, mafia pajak, hukum, proyek  pembangunan gedung DPR, menjadikan dunia politik diliputi oleh suasana konflik berkepanjangan.  Bahkan, antar lembaga-lembaga negara, misalnya antara presiden dengan DPR, kepolisian, kejaksaan, KPK dan lain-lain terlibat dalam konflik yang lama. Satu peristiwa selesai maka muncul kasus berikutnya, sehingga   para politikus  seolah-olah tidak pernah berhenti  dari menyelesaikan  konflik. Akhirnya kerukunan seperti menjadi barang mahal.
Namun anehnya, justru orang yang tidak berpendidikan tinggi,tidak sedikit yang berhasil menjaga kerukunan itu. Saya melihat sendiri, di antara beberapa sopir, satpam, petugas kebersihan, sekalipun mereka berpendidikan  rendah,  ternyata justru  bisa rukun. Di antara mereka  saling membantu, menghormati,  dan menghargai antar sesama.
Hal yang saya anggap aneh, beberapa orang tetangga saya, yang pekerjaan sehari-hari hanya sebagai tukang batu dan  kuli bangunan ternyata malah selalu rukun.  Pendidikan mereka  rendah dan demikian pula pengahasilannya sehari-hari   hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya  secara sederhana.  Suatu saat, saya pernah mencoba menanyakan, bagaimana mencari peluang kerja. Saya lihat, pekerjaan mereka selalu berpindah-pindah. Selesai mengerjakan proyek di satu tempat, mereka segera mendapatkan pekerjaan di tempat lain dan tidak pernah putus.   
Saya benar-benar kaget, bahwa di antara para tukang bangunan  dan kuli  tersebut ternyata  memiliki solidaritas yang tinggi. JIka  mereka tahu  bahwa terdapat temannya yang menganggur, -----sedang tidak memiliki pekerjaan, maka segera diajak bergabung. Sesama tukang atau kuli bangunan merasa tidak tega melihat temannya menanggung derita, tidak mendapatkan penghasilan.  Mendengar jawaban itu, saya menjadi sangat terharu, ternyata orang yang tidak berpendidikan cukup  justru mampu memelihara kerukunan.  
Memelihara kerukunan ternyata  tidak mudah. Padahal,  kemajuan   dan ketenteraman di mana-mana  baru akan terwujud manakala orang-orang yang tergabung dalam  kelompok atau organisasi itu  berhasil memelihara  kerukunan. Sementara, orang bisa rukun bukan karena  kepintaran atau ditentukan oleh tingkat pendidikannya, melainkan  oleh karena kearifannya. Sedangkan kearifan  ternyata tidak selalu  terjadi di kalangan  orang pintar atau berpendidikan.

Tidak ada komentar: