Di antara sekian banyak pesan I Bape tyang, -------ketika setiap kesempatan saya ada disampingnya, yang saya ingat adalah bahwa "di mana saja agar supaya selalu rukun dengan sesama". Pesan itu terasa sederhana. Tanpa diingatkannya pun sebenarnya siapapun sudah tahu, bahwa kerukunan adalah penting bagi siapa saja. Namun demikian, Bape tyang selalu mengingatkannya. Seakan-akan, saya belum atau tidak mengerti tentang arti kerukunan itu.
Arti rukun yang dimaksudkan itu juga sederhana saja. Bahwa beberapa orang dianggap rukun manakala mereka tidak selalu bertengkar sekalipun berbeda pendapat atau bahkan pendapatan. Mereka tidak saling bermusuhan, saling merendahkan, menyakiti hatinya dan lain-lain. Sebaliknya sekelompok orang dianggap rukun manakala di antara mereka saling menyayangi, tolong menolong, menghargai, mau berbicara bersama, bahkan juga selalu tertawa bersama-sama.
Orang yang suka berebut, mengalahkan lainnya, dan apalagi tega jika temannya menderita dan apalagi celaka, maka mereka disebut gagal menjaga kerukunan. Umumnya orang merasa sedih manakala mendengar orang tidak bisa menjaga kerukunan. Oleh karena itu tatkala berhasil menjaga kerukunan dianggap prestasi. Pada kenyataan nya tidak semua orang berhasil melakukan hal itu.
Pesan orang tua yang semula saya anggap sederhana itu ternyata memang tidak mudah dilaksanakan dan akhirnya menjadi bukan persoalan sederhana lagi. Rukun ternyata tidak mudah dijalankan oleh siapapun. Seorang yang berpendidikan tinggi dan bahkan juga berjabatan tinggi sekalipun belum tentu berhasil rukun dengan temannya.
Betapa sulitnya rukun itu diwujudkan, sehingga tidak sedikit orang yang sudah bergelar Doktor (lulus S3) pun , ternyata belum tentu bisa rukun dengan teman-temannya. Selalu saja saya mendengar, di antara mereka saling terlibat konflik dan bahkan tidak saling menyapa. Padahal menurut informasi yang saya dapatkan, sebab-sebab terjadinya konflik itu juga dari hal yang sangat sepele.
Orang yang tidak mampu membangun kerukunan tidak sedikit jumlahnya. Di mana-mana selalu terjadi. Oleh sebab itu, untuk membuktikan tentang betapa sulitnya memerlihara kerukunan sangat mudah dilakukan. Bahkan hingga di kampus-kampus perguruan tinggi, ternyata antar pimpinan, pimpinan dengan dosen, antar sesama dosen, sesama mahasiswa, konflik menjadi hal biasa. Orang-orang di perguruan tinggi sekalipun, terrnyata tidak menjamin selalu bisa meredam konflik. Dari melihat kenyataan itu,saya menjadi berkesimpulan, bahwa ternyata merawat kerukunan bukan perkara mudah. Pesan ibu saya tersebut, ternyata hingga kapan, kepada siapapun, dan di manapun masih selalu relevan.
Lebih berat lagi adalah menjaga kerukunan di dunia politik. Pertikaian antar intern dan antar partai politik selalu terjadi. Bahkan beberapa tahun terakhir, terkait dengan persoalan bank century, mafia pajak, hukum, proyek pembangunan gedung DPR, menjadikan dunia politik diliputi oleh suasana konflik berkepanjangan. Bahkan, antar lembaga-lembaga negara, misalnya antara presiden dengan DPR, kepolisian, kejaksaan, KPK dan lain-lain terlibat dalam konflik yang lama. Satu peristiwa selesai maka muncul kasus berikutnya, sehingga para politikus seolah-olah tidak pernah berhenti dari menyelesaikan konflik. Akhirnya kerukunan seperti menjadi barang mahal.
Namun anehnya, justru orang yang tidak berpendidikan tinggi,tidak sedikit yang berhasil menjaga kerukunan itu. Saya melihat sendiri, di antara beberapa sopir, satpam, petugas kebersihan, sekalipun mereka berpendidikan rendah, ternyata justru bisa rukun. Di antara mereka saling membantu, menghormati, dan menghargai antar sesama.
Hal yang saya anggap aneh, beberapa orang tetangga saya, yang pekerjaan sehari-hari hanya sebagai tukang batu dan kuli bangunan ternyata malah selalu rukun. Pendidikan mereka rendah dan demikian pula pengahasilannya sehari-hari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya secara sederhana. Suatu saat, saya pernah mencoba menanyakan, bagaimana mencari peluang kerja. Saya lihat, pekerjaan mereka selalu berpindah-pindah. Selesai mengerjakan proyek di satu tempat, mereka segera mendapatkan pekerjaan di tempat lain dan tidak pernah putus.
Saya benar-benar kaget, bahwa di antara para tukang bangunan dan kuli tersebut ternyata memiliki solidaritas yang tinggi. JIka mereka tahu bahwa terdapat temannya yang menganggur, -----sedang tidak memiliki pekerjaan, maka segera diajak bergabung. Sesama tukang atau kuli bangunan merasa tidak tega melihat temannya menanggung derita, tidak mendapatkan penghasilan. Mendengar jawaban itu, saya menjadi sangat terharu, ternyata orang yang tidak berpendidikan cukup justru mampu memelihara kerukunan.
Memelihara kerukunan ternyata tidak mudah. Padahal, kemajuan dan ketenteraman di mana-mana baru akan terwujud manakala orang-orang yang tergabung dalam kelompok atau organisasi itu berhasil memelihara kerukunan. Sementara, orang bisa rukun bukan karena kepintaran atau ditentukan oleh tingkat pendidikannya, melainkan oleh karena kearifannya. Sedangkan kearifan ternyata tidak selalu terjadi di kalangan orang pintar atau berpendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar